Solusi Penyelamat Bayi di Daerah Bencana
PROSES evakuasi bayi acap kali mengesampingkan aspek-aspek yang sensitif. Dalam kondisi yang begitu darurat, bayi dievakuasi hanya menggunakan kain gendongan. Ditambah, dengan penanganan lanjutan yang juga seadanya, nyawa bayi pun dalam bahaya.
Atas dasar kondisi itulah, lima mahasiwa dari Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat, menawarkan solusi dalam menangani bayi-bayi korban bencana. Mereka mengembangkan sebuah inkubator berbentuk tas gendong yang memiliki fungsi menghangatkan dan memberikan udara yang bersih layaknya inkubator.
Inkubator itu memanfaatkan material yang mudah didapatkan sebagai elemen penghangat sehingga tidak membutuhkan listrik terus-menerus. Inkubator ini dilengkapi dengan penyaring udara dengan memanfaatkan membran yang memiliki pori berukuran 50 nanometer. "Itu mampu menyaring partikel berbahaya bahkan bakteri sekalipun," aku salah satu pencipta, Amanda.
Desain inkubator disesuaikan untuk keperluan evakuasi yang membutuhkan mobilitas tinggi. Bentuknya yang menyerupai tas ransel dipilih dengan mempertimbangkan aspek ergonomis agar memudahkan saat dibawa dalam situasi bencana.
Meski masih membutuhkan pengembangan dan pengujian lebih lanjut, inkubator jinjing ini diharapkan dapat menjadi salah satu inovasi menekan jumlah korban bayi saat terjadi bencana. "Cara menggunakan inkubator ini sangat mudah, siapa saja bisa menggunakan. Di dalam inkubator ini juga bayi aman dan hanya khusus untuk anak bayi di bawah satu tahun," jelas Amanda.
Cara menggunakan alat ini memang sangat mudah. Pengguna cukup membuka ritsleting yang ada pada bagian tengah tas. Kemudian, bayi dimasukkan dengan tidak lupa mengatur suhu dan udara yang telah disiapkan dalam inkubator. "Untuk penghangatnya kami menggunakan material parafin. Jadi untuk memanaskannya kami menggunakan pemanggang roti. Setelah panas kemudian dimasukkan ke selot yang ada di dalam inkubator, begitu juga saringan udaranya," tandas Amanda.
Filter udara
Zatia menambahkan, untuk penyaring udara, mereka menggunakan filter yang diproduksi dosen ITB. "Nah filter itu juga dimasukkan ke inkubator sehingga bisa memberikan udara kepada bayi ketika dimasukkan ke inkubator," sebutnya.
Awalnya, kelima mahasiswa ini membuat inkubator yang tidak memiliki rangka. Inkubator itu dikembangkan lagi hingga memiliki rangka yang dipastikan lebih aman saat digunakan dalam evakuasi. "Jadi kami terus lakukan inovasi karena menurut kami belum ada metode evakuasi bayi dari Indonesia yang memenuhi standar dari segi kesehatan ataupun keamanan. Karena itu, kami membuatlah inkubator ini dan ternyata bisa menjadi solusi," ungkap Zatia.
Penggunaan alat ini dapat disesuaikan dengan umur sang bayi. Untuk bayi berumur enam bulan, inkubator digunakan dalam posisi telentang dan jika di bawah enam bulan dipakai di depan.
Aman, Zatia, dan tiga rekan lainnya masih akan terus melakukan pengembangan terutama pada bagian ritsleting yang belum tahan air. "Pastinya kami akan cari tahu apa ritsleting yang tepat. Kalau ditanya soal harganya ini akan kami jual Rp700 ribu per satu inkubatornya. Harganya murah karena pertimbangan kami mungkin nanti selain bisa untuk bencana alam, juga meringankan evakuasi bayi di daerah terpencil saat sakit atau lainnya. Jadi kami juga fokus ke aksi sosial dalam pengembangan ini," pungkas Zatia.
Mereka pun berharap alat ini bisa menekan angka kematian bayi yang disebabkan bencana alam dan bisa menekan angka kematian bayi pada daerah terpencil. (TB/M-3)
Sumber: Media Indonesia