Hentikan Kapitalisasi Pendidikan
SERIKAT Mahasiswa Indonesia (SMI) menilai Indonesia saat ini berada di ambang krisis pendidikan yang serius. Sejumlah regulasi yang dikeluarkan semakin memantapkan arah pendidikan Indonesia menuju liberalisasi.
Menurut SMI, semangat liberalisasi yang berujung pada kapitalisasi di sektor pendidikan itu dipayungi sejumlah regulasi seperti Undang-Undang (UU) No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, Permenristek No 39/2017 tentang Uang Kuliah Tunggal dan Biaya Kuliah Tunggal, Surat Edaran Dikti No 26/2002 tentang larangan aktivitas politik di lingkungan kampus, dan serangkaian regulasi lainnya.
Tidak adanya batasan bagi individu atau kelompok untuk mendirikan lembaga pendidikan juga dinilai berperan besar dalam mengubah orientasi pendidikan. Dengan demikian, individu ataupun kelompok yang memiliki modal dapat mendirikan lembaga pendidikan dalam bentuk yayasan, sehingga orientasi pendidikan berubah menjadi ajang bisnis.
UNICEF melansir, pada 2016 terdapat 2,5 juta anak Indonesia putus sekolah. Mereka terdiri dari 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia SMP. Yang menjadi penghambat mereka mayoritas adalah faktor kemiskinan.
Di sisi lain, dari 4,8 juta mahasiswa Indonesia saat ini, bila dihitung terhadap populasi penduduk berusia 19-24 tahun, angka partisipasi kasarnya baru mencapai 18,4%. Dari 4,8 juta itu, sekitar 6,5% di antaranya adalah mahasiswa kurang mampu yang terancam putus kuliah.
“Rendahnya angka partisipasi pendidikan ini menjadi bukti kegagalan sistem pendidikan Indonesia, akibat lepas tanggung jawab negara dalam membiayai penyelenggaraan pendidikan,” kata Ketua Umum Serikat Mahasiswa Indonesia Nuy Lestari dalam keterangan tertulis, pekan lalu.
Menurutnya, bila dilihat sekilas, nominal anggaran pendidikan 2017 sebesar Rp416,1 triliun cukup besar. Namun, alokasi untuk memajukan kualitas dan sarana-prasarana sangat kecil. Sebab, beban anggaran lebih besar untuk gaji tenaga pendidik dan pendidikan militer. Nuy Lestari menilai salah satu tolok ukur krisis pendidikan tidak hanya dari segi mahalnya biaya pendidikan, tetapi juga dari aspek demokrasinya. (Pro/H-2)
Sumber: Media Indonesia.