Breaking News

Pendidikan Karakter Berbasis Sosial


Pendidikan karakter menjadi krusial di era globalisasi dewasa ini. Pasalnya, para orangtua dan sekolah dihadapkan pada kondisi sosial yang selalu bergerak mengikuti logika dan selera pasar. Karena itu, pendidikan karakter yang hendak diarahkan bangsa ini harus kembali pada nilai-nilai keadaban dalam Pancasila.

Hal itu disampaikan Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Komarudin Hidayat, dalam focus group discussion (FGD). FGD bertajuk Pendidikan sebagai Penjuru dalam Pembangunan Karakter Bangsa ini digelar Persatuan Purnawirawan TNI-AD (PPAD), Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI-Polri (FKPPI), dan Yayasan Suluh Nusantara Bhakti (YSNB), di Jakarta, kemarin.

Menurutnya,pola asuh anak yang sebelumnya masih dikontrol kuat oleh ­lingkungan keluarga, masyarakat, dan budaya yang homogen, kini telah bergeser. Masyarakat, kata Komarudin, saat ini terpapar simbol-simbol yang tidak mewakili realitas sejati, tapi justru dianggap sebagai kenyataan.

Ia mencontohkan gejala saat ini yang cenderung memandang karakter seseorang berdasarkan status sosial dan konsumsi barang. Kecenderungan itu, lanjutnya, bisa berdampak buruk bagi pendidikan karakter karena identitas dibentuk mengikuti logika pasar.

“Pendidikan karakter haruslah membawa bangsa ini sebagai subjek. Pilar pendidikan ini harus diformulasi ulang. Yang mesti diubah terlebih dahulu ialah mindset pimpinan sekolah dan guru,” jelasnya lagi.

Komarudin menambahkan pendekatan budaya bisa menjadi jalan keluarnya. Guru dan pimpinan sekolah, sambungnya, perlu memiliki perspektif tentang budaya.

Komarudin menilai budaya harus dipandang sebagai cara pikir dan kemampuan mengolah nilai-nilai. “Budaya kerap dianggap hanya yang berbentuk lahiriah seperti tari-tarian,” imbuhnya.

Dalam kesempatan itu, Anggota Dewan Pakar Yayasan Jati Diri Bangsa (YJDB) Gede Raka menyatakan pendidikan merupakan alat yang penting dalam membangun karakter.

Ia mengingatkan sistem pendidikan karakter perlu menyesuaikan dengan konteks sosial, budaya, sejarah, dan lingkung-an lokal agar implementasinya tepat sasaran. “Kebijakan di Jakarta tidak boleh sama dengan daerah lain.”

Tidak menyeragamkan

Staf Ahli Menteri Pendidik-an dan Kebudayaan Bidang Ino-vasi dan Daya Saing, Ananto Kusuma Seta menegaskan, model pendidikan karakter yang ditetapkan pemerintah yang tertuang dalam Perpres No 87/2017 tidak bersifat menye-ragamkan. Ia mencontohkan pada tahun ajaran 2018/2019, akan ada dua bentuk rapor sekolah yakni akademik dan kepribadian. Kegiatan-kegiat-an peserta didik di luar sekolah terkait pendidikan karakter akan jadi objek penilaian.

“Misalnya anak pulang sekolah membantu orangtua di sawah atau pergi melaut mencari ikan. Itu akan masuk catatan. Anak-anak yang ke madrasah diniyah pun begitu. Itu bagian dari pendidikan karakter,” ujarnya.

Dirinya menambahkan, nilai-nilai religius, nasionalisme, kemandirian, gotong royong, dan integritas menjadi landasan dalam pendidikan karakter siswa. Hal itu juga diperkuat dengan lima keterampilan seperti berpikir kritis, kreatif, kolaborasi, komunikasi, dan inovasi.

“Guru menjadi kunci utama. Mereka harus kreatif dalam menghadirkan pembelajaran yang beragam, menyenangkan, dan menggairahkan siswa,” pungkasnya. (H-1)
Sumber: MI.

Halaman