Pendidikan Tinggi Minus Integritas
Saat orasi ilmiah pada Dies Natalis ke-62 Universitas Airlangga di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (10/11), Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif mengatakan pelaku korupsi di Indonesia didominasi mereka yang mengenyam pendidikan tinggi, mulai yang bergelar sarjana, master, hingga doktor.
Sementara itu, yang berpendidikan rendah sangat minim melakukan kejahatan tindak pidana luar biasa itu. Berdasarkan data KPK, lanjutnya, jumlah pelaku korupsi yang bergelar master (S-2) sebanyak 197 orang, sarjana 195, doktor 33 orang, SMA 35 orang, SMP 3 orang, dan SD 4 orang.
Menurut Laode, itu fakta yang ada saat ini. Pertanyaannya apakah koruptor itu tidak tahu sehingga mereka korupsi? Itulah yang menjadi pekerjaan rumah (PR) kalangan perguruan tinggi di Indonesia untuk bisa mencegah perilaku tersebut.
Laode bahkan mengkritisi bahwa sejauh ini belum ada perguruan tinggi yang meneliti apakah penggunaan APBD sampai ke rakyat. “Misalkan ada Rp1 triliun APBD, apakah ada perguruan tinggi, khususnya mereka yang bergelar master atau doktor meneliti sampai sejauh mana penggunaan dana itu, sampai riil ke masyarakat. Sejauh ini tidak ada,” katanya seperti dikutip dari mediaindonesia.com (10/11).
Laode menambahkan, terjadinya korupsi, antara lain, disebabkan faktor politik, hukum, ekonomi, serta organisasi, sedangkan akar penyebab korupsi ialah krisis identitas dan orientasi kemanusiaan, kegagalan pendidikan, lemahnya kontrol dalam keluarga, aktualisasi agama terlalu normatif, serta proses politik.
Integritas diri
Pemerhati dan Konsultan Pendidikan Doni Koesoema A mengatakan yang salah bukanlah sistem pendidikan, melainkan asumsi yang menyatakan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, akhlaknya semakin mulia.
“Kualitas karakter tidak ditentukan tingginya ilmu atau gelar seseorang, tetapi konsistensi dan rekam jejak dalam membangun integritas dirinya,” ujarnya di Jakarta Rabu (15/11).
Doni mengakui ada yang salah dalam perguruan tinggi di Indonesia. Sebabnya, ternyata sampai jenjang S-3 pun, PT belum berhasil membentuk pribadi berintegritas.
“Artinya, tingginya ilmu yang diperoleh ternyata tidak berkorelasi dengan meningkatnya standar dan integritas moral mereka,” tegas Doni.
Sebab itu, lanjut pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah 1973 itu, PT harus memiliki kebijakan tegas tentang integritas moral para akademisi. Masalah plagiasi, ijazah palsu, dan lain-lain juga harus dibersihkan dari kampus.
“Ini bentuk keseriusan pemerintah dalam menegakkan integritas moral akademisi,” ujarnya.
Sementara itu, saat dihubungi secara terpisah, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Mulyadi P Tamsir mengatakan masalah korupsi tidak ada hubungannya dengan pendidikan.
Menurutnya, ketika seseorang memegang kekuasaan dan mentalnya sudah mental korupsi, siapa pun akan bertindak korupsi.
“Orang yang korupsi kan bukannya tidak tahu kalau perbuatannya korupsi. Yang penting pendidikan menjauhi perilaku korupsi,” jelas Mulyadi Kamis (16/11).
Menurutnya, mental antikorupsi harus dibentuk sedini mungkin, bukannya sudah di perguruan tinggi, misalnya, sejak SD. Selain itu, diperlukan peran orangtua dan masyarakat dalam menanamkan nilai-nilai antikorupsi.
“Di luar negeri kalau orang ketahuan berbuat tidak jujur, misalnya, ketahuan menyontek sudah bisa langsung dikeluarkan atau kena sanksi yang serius,” tambahnya.
Hal senada diungkapkan Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Agus M Herlambang. Ia mengapresiasi upaya sejumlah kampus yang memerangi korupsi lewat mata kuliah antikorupsi. Namun, ada baiknya pendidikan semacam itu dilakukan sejak usia sedini mungkin.
“Upaya kampus seperti itu silakan saja sebagai bentuk upaya pencegahan korupsi. Tapi kalau pendidikan karakternya sebaiknya dari SD, SMP, SMA. Soal kejujuran, transparansi, pengembanan amanah itu baiknya dari SD,” pungkasnya. (X-7)
“Kualitas karakter tidak ditentukan tingginya ilmu atau gelar seseorang, tetapi konsistensi dan rekam jejak dalam membangun integritas dirinya,” ujarnya di Jakarta Rabu (15/11).
Doni mengakui ada yang salah dalam perguruan tinggi di Indonesia. Sebabnya, ternyata sampai jenjang S-3 pun, PT belum berhasil membentuk pribadi berintegritas.
“Artinya, tingginya ilmu yang diperoleh ternyata tidak berkorelasi dengan meningkatnya standar dan integritas moral mereka,” tegas Doni.
Sebab itu, lanjut pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah 1973 itu, PT harus memiliki kebijakan tegas tentang integritas moral para akademisi. Masalah plagiasi, ijazah palsu, dan lain-lain juga harus dibersihkan dari kampus.
“Ini bentuk keseriusan pemerintah dalam menegakkan integritas moral akademisi,” ujarnya.
Sementara itu, saat dihubungi secara terpisah, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Mulyadi P Tamsir mengatakan masalah korupsi tidak ada hubungannya dengan pendidikan.
Menurutnya, ketika seseorang memegang kekuasaan dan mentalnya sudah mental korupsi, siapa pun akan bertindak korupsi.
“Orang yang korupsi kan bukannya tidak tahu kalau perbuatannya korupsi. Yang penting pendidikan menjauhi perilaku korupsi,” jelas Mulyadi Kamis (16/11).
Menurutnya, mental antikorupsi harus dibentuk sedini mungkin, bukannya sudah di perguruan tinggi, misalnya, sejak SD. Selain itu, diperlukan peran orangtua dan masyarakat dalam menanamkan nilai-nilai antikorupsi.
“Di luar negeri kalau orang ketahuan berbuat tidak jujur, misalnya, ketahuan menyontek sudah bisa langsung dikeluarkan atau kena sanksi yang serius,” tambahnya.
Hal senada diungkapkan Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Agus M Herlambang. Ia mengapresiasi upaya sejumlah kampus yang memerangi korupsi lewat mata kuliah antikorupsi. Namun, ada baiknya pendidikan semacam itu dilakukan sejak usia sedini mungkin.
“Upaya kampus seperti itu silakan saja sebagai bentuk upaya pencegahan korupsi. Tapi kalau pendidikan karakternya sebaiknya dari SD, SMP, SMA. Soal kejujuran, transparansi, pengembanan amanah itu baiknya dari SD,” pungkasnya. (X-7)
Sumber: MI.