Breaking News

Merayakan Toleransi dalam Keseharian


LETAK geografis Kota Manado, ibu kota Provinsi Sulawesi Utara, diapit daerah Maluku Utara, Palu, dan Filipina Selatan. Berdasarkan data pihak kepolisian, Kota Manado sering dijadikan jalur transit para teroris yang hendak menyeberang ke wilayah Filipina Selatan.

Meski demikian, kota yang berpenduduk hampir 600 ribu ini hampir tidak disinggahi aksi radikalisme atau terorisme. Aksi-aksi tersebut rupanya tidak laku di kota yang berjuluk ‘Kota Tinutuan’ (Bubur Manado) karena warga Kawanua, sebutan untuk masyarakat Manado, memiliki moto ‘Torang samua basudara, baku-baku bae deng baku-baku sayang’ (kita semua bersaudara saling baik-baikkan dan saling menyayangi).

Tak heran bila Manado menyabet juara 1 untuk kota yang paling to­leran menurut survei Setara Institute dengan skor 5,90. Bertikutnya Kota Pematang Siantar (5,90), dan Salatiga (5,90) (Media Indonesia, 17/11).

Pelayan khusus (diaken) dari Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) menilai warga Kota Manado mempunyai tujuan yang sama dalam menjaga kerukunan.

“Kerukunan antarumat beragama harga mati bagi warga Manado. Dengan kerukunan, kami tidak berpikir ada perbedaan,” kata Penatua Jemaat GMIM Sion Teling Manado, Jemmy Saroinsong, kemarin (Sabtu, 18/11).

Senada, Sekretaris MUI Sulawesi Utara, Nasruddin Yusuf, mengatakan pemahaman beragama warga Manado tidak fanatik. “Maksudnya, kedewasaan beragama warga Manado tidak terpengaruh dengan radikalisme,” katanya.

Pun dalam keseharian, warga Manado terbiasa saling membantu saat hari besar agama. “Bila salat Idul Fitri, warga Nasrani membantu penyelenggaraan dan pengamanan salat Id bersama aparat kepolisian. Begitu pula sebaliknya,” cetus Aswin Lumintang, tokoh pemuda warga Kelurahan Bumi Beringin.

Sejak lahir

Pemandangan yang sama terjadi di Kota Pematang Siantar, Sumatra Utara. Di kota kelahiran Wakil Presiden ke-3 RI, Adam Malik, ini rumah ibadah berdiri megah secara berdampingan.

“Pada hari besar keagamaan, para pemuda saling membantu. Mereka membantu persiapan di lapangan, berikut pengamanannya,” kata Parningotan Pandiangan, 54, warga Perumnas Jalan Asahan.

Bagi warga Pematang Siantar, menghargai perbedaaan, apakah suku, agama, atau budaya, sudah tertanam sejak kecil. “Kami menghargai satu sama lain sudah tertanam sejak terlahir. Pergaulan sehari-hari kami cair,” kata Makda Pasaribu, 41, warga Tojai.

Indahnya keberagaman juga terlihat di Kota Salatiga, Jawa Tengah. Selain berudara sejuk, penataan kotanya pun bagus. Masjid, gereja, kelenteng, wihara, berdiri berdekatan, di empat kecamatan yang ada, yakni Argomulyo, Tingkir, Sidomukti, dan Sidorejo. Para tokoh agamanya pun mempunyai agenda rutin pertemuan.

Bahkan, kampus Universitas Kristen Satya Wanaca dan IAIN Salatiga dibangun cukup dekat. “Toleransi warga modal dasar untuk membangun Salatiga,” kata Wali Kota Salatiga, Julianto.

Sosiolog Musni Umar mengatakan survei Setara Institute menunjukkan intoleransi masih menjadi potret buram bangsa ini. “Tole­ransi butuh kesadaran total dari seluruh lapisan masyarakat. Yang terpenting ialah keteladanan dari pemimpin,” katanya, kemarin. (JH/AS/Nic/Dhk/X-4)

Sumber: Media Indonesia.

Halaman