NURHAYATI, PEJUANG PENDIDIKAN DIPEDESAAN
Cita-citanya memang menjadi guru. Namun, tidak pernah terbanyak di benak Nurhayati jika ia harus mengabdi sebagai guru honorer selama sembilan tahun. Meski begitu, dia tidak pernah berniat berhenti menjadi seorang guru.
Saat memasuki halaman sekolah, terdengar suara riuh anak-anak dari dalam kelas. Dari salah satu ruangan muncul seorang perempuan berjilbab dengan kemeja kotak-kotak. Perempuan itu melihat ke arah kami, lalu melemparkan senyuman.
Tidak lama kemudian, ia menyapa kami. Setelah saling memperkenalkan diri, dia mempersilakan kami masuk ke dalam ruangan kelas.
Perempuan itu bernama Nurhayati, guru honorer di Sekolah Dasar (SD) 010 yang berlokasi di Kampung Birang, Kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau. Ketika kami datang, dia sedang sibuk mengajar.
“Beginilah ruang kelas di sekolah kami,” ujarnya mengawali pembicaraan. Di ruang kelas yang berdinding kayu itu, Nurhayati mengisahkan awal kariernya sebagai guru honorer di SD 010, Kampung Birang, Kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau.
Berstatus sebagai guru honorer bukanlah pekerjaan mudah. Dengan pendapatan hanya Rp 450 ribu per bulan Nurhayati dituntut untuk meningkatkan kualitas ilmu bagi ratusan muridnya. Dia juga harus rela berpisah dengan kedua anaknya demi menjalani profesi yang mulia itu.
Karena dedikasinya, Nurhayati mendapat sedikit perhatian dari pemerintah, setiap bulan dia mendapat insentif dari Dinas Pendidikan Kabupaten Berau. “Jadi totalnya dalam sebulan itu saya mendapat Rp 1,2 juta,” tambahnya.
Hidup di kampung terpencil dan jauh dari pusat kota dengan pendapatan hanya Rp1,2 juta tidaklah mencukupi. Apalagi biaya hidup di kampung terpencil itu cukup tinggi. Untungnya Nurhayati dipercaya oleh PT Berau Coal untuk mengelola sebuah asrama yang dikhususkan bagi anak-anak komunitas adat terpencil yang bersekolah di Kampung Birang.
Dengan mengelola asrama itu, Nurhayati mendapat penghasilan tambahan Rp1 juta setiap bulannya, sehingga Nurhayati mampu menyekolahkan kedua anaknya hingga jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Meski berpisah dari anak-anaknya, Nurhayati tidak hidup sendirian. Dia tinggal bersama 14 anak asuhnya yang masih kecil-kecil. “Anak-anak asuh saya semua dari komunitas adat terpencil dari suku Dayak Punan,” ungkapnya.
Namanya juga anak-anak, lincah dan aktif. Nurhayati pun harus bersabar menghadapi ke-14 anak asuhnya. “Mereka tidak pernah bisa diam, mereka diam kalau sedang tidur saja,” ujarnya sambil tertawa.
Dikisahkannya, hampir setiap hari, dia harus mendamaikan anak-anak yang masih berusia 5 hingga 10 tahun itu. “Kalau sudah waktunya makan, namanya anak-anak, sering rebutan makanan. Sampai-sampai tempat nasi dan lauk pauknya tumpah semua,” tuturnya.
“Belum lagi kalau anak-anak itu main ke sungai yang aliran airnya deras, saya takut sekali. Tapi jangankan anak orang lain, anak kita sendiri saja begitu, tidak bisa dilarang. Jadi harus sabar, karena mereka itu diamanahkan orangtuanya ke saya,” katanya lagi.
Tidak hanya mengasuh anak-anak yang sudah duduk di bangku sekolah dasar saja, Nurhayati juga mengurus anak-anak yang masih duduk di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
“Kalau saya sedang mengajar di sekolah, tidak ada yang mengawasi. Untungnya mereka masih kecil jadi belum berani main jauh-jauh. Kalau sudah pulang dari PAUD, mereka datang ke tempat saya mengajar dan menunggu sampai saya pulang,” jelasnya.
Tak bisa dibayangkan bagaimana sibuknya Nurhayati mengurus 14 anak asuhnya. Tidak hanya menjaga mereka, Nurhayati juga memasak, mencuci, memandikan, dan menidurkan mereka.
“Tapi anak-anak yang sudah cukup besar saya ajarkan mandiri, mereka saya ajarkan bantu-bantu cuci piring, menyapu, memberishkan tempat tidur. Pokoknya pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan anak-anak,” tuturnya.
Meski mengasuh 14 anak, Nurhayati tak pernah sepeser pun memungut atau meminta imbalan kepada orangtua anak-anak asuhnya. “Semua kebutuhan mereka sudah ditanggung oleh Berau Coal, mulai dari pakaian, sepatu, alat tulis sampai makan juga ditanggung Berau Coal, saya hanya mengelola saja,” tegasnya.
Berkat dedikasinya itu, Nurhayati mendapat penghargaan Gelar Karya Pemberdayaan Masyarakat (GKPM) CSR Best Practice for MDGs oleh kementerian Sosial Republik Indonesia. “Saya sendiri tidak menyangka meraih penghargaan GKPM dari Kementerian Sosial,” tandasnya.
Sumber : http://berbagikisah.com
Tidak ada komentar